Tegalgubug Cirebon (Bagian 1)
Melalui promosi dari mulut ke mulut,
Pasar Tegalgubug pun semakin dikenal. Apalagi, lokasinya di sisi jalur
utama pantura penghubung Jakarta dan Jateng, menjadikan Pasar Tegalgubug
sangat mudah untuk dijangkau
Terik matahari yang membakar pesisir pantai utara (pantura) Cirebon
perlahan menghilang. Sinarnya yang begitu garang, kini mulai tergantikan
dengan semburat lembayung berwarna keemasan. Burung-burung di langit
pun terbang beriringan kembali ke sarang.
Senja yang semakin gelap, tak membuat aktivitas warga di Desa Tegalgubug
dan Desa Tegalgubug Lor, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon,
Jabar, menjadi sepi. Warga di dua desa yang bertetangga itu justru
menunjukkan sisi kehidupannya yang lain. Remaja putra dan putri
berpakaian muslim rapi berbondong-bondong pergi ke masjid dan mushala
yang banyak berdiri di dua desa tersebut. Nuansa relijius yang tampak
dalam kehidupan warga di kampung santri itu, memang tak lepas dari
pengaruh keberadaan pondok pesantren yang juga banyak berdiri sejak
puluhan tahun silam.
Tak hanya itu, aktivitas warga di kedua desa tersebut tak berhenti
sebatas pelaksanaan ibadah ritual semata. Nilai Islam yang mengajarkan
agar setiap muslim harus menjadi kuat dalam segala hal, termasuk bidang
perekonomian, benar-benar mereka laksanakan. Melalui kegiatan
perdagangan, mereka berupaya menjemput rezeki dari Sang Maha Pemberi
Kekayaan.
Bidang perdagangan yang mereka lakukan itu berupa penjualan bahan-bahan
sandang yang dipusatkan di Pasar Tegalgubug, yang berjarak kurang lebih
500 meter dari desa mereka. Tak hanya pakaian jadi, namun barang-barang
lain yang mereka jual adalah bahan dasar pakaian, kerudung, taplak meja,
gorden, seprei, maupun bahan sandang lainnya. Barang-barang yang dijual
di Pasar Tegalgubug itu asli buatan tangan mereka sendiri.
Setiap hari, denyut kehidupan warga di dua desa itu seolah tak pernah
mati. Deru mesin jahit dan hamparan kain yang akan dibuat menjadi barang
sandang siap pakai, akan mudah ditemui dalam keseharian sekitar 6.000
warga di Desa Tegalgubug dan 8.124 warga di Desa Tegalgubug Lor. Proses
pembuatan barang-barang sandang tersebut dilakukan di rumah
masing-masing warga. Aktivitas itu dengan sendirinya telah menjadikan
kedua desa tersebut sebagai kawasan home industry.
Desa Tegalgubug dan Desa Tegalgubug Lor terbagi menjadi lima blok, yakni
blok satu sampai blok lima . Setiap blok itu masing-masing memiliki
produk keunggulan. Untuk Blok Satu, produk yang diunggulkan berupa
pakaian jadi, Blok Dua unggul dalam produk kelambu tempat tidur dan
taplak meja. Blok Tiga unggul dalam produk kerudung maupun pakaian jadi.
Blok Empat unggul dalam penjualan bahan dasar pakaian, dan blok lima
unggul dalam produk seprei dan sarung bantal, taplak meja, maupun celana
panjang.
Seluruh produk yang mereka buat itu selalu disesuaikan dengan tren yang
sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat, atau yang sering
dikenakan para artis sinetron terkenal yang sedang naik daun. Bahkan,
mereka pun menamakan produknya sesuai dengan nama artis atau tokoh yang
mengenakan model pakaian tersebut. Karenanya, jangan heran jika
menemukan ada kerudung ‘Benazir’ (Bhuto), kerudung ‘Teh Ninih’, baju ‘A
Rafiq’, baju ‘Talita’ (sinetron Cahaya), ataupun baju ‘Azizah’ (sinetron
Azizah).
Barang-barang sandang yang telah mereka produksi itu lantas dijual di
Pasar Tegalgubug. Namun, keberadaan pasar itu tidak berlangsung setiap
hari, hanya Selasa dan Sabtu yang menjadi hari ‘pasaran’ di pasar
tersebut. Karenanya, setiap Senin dan Jumat sore, ribuan warga di dua
desa itu akan berduyun-duyun mengangkut barang dagangan yang telah
mereka produksi ke pasar tersebut, baik dengan menggunakan mobil bak
terbuka ataupun becak.
Aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug biasa dimulai selepas sholat
Isya hingga keesokan harinya sekitar pukul 14.00 WIB. Para pembeli yang
datang ke pasar tersebut tak hanya berasal dari wilayah Cirebon ,
melainkan juga berasal dari berbagai daerah lainnya di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi , Nusa
Tenggara, hingga negeri jiran Malaysia, bahkan negeri jauh seperti
Afrika Selatan, Korea Selatan, maupun Nigeria. Selain kualitas yang
bagus dan ketersediaan model pakaian yang lengkap, Pasar Tegalgubug pun
diburu para pembeli karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan
harga barang serupa di pusat perbelanjaan ataupun di toko biasa.
Salah seorang tokoh masyarakat setempat, Ir H Maslani Samad (47),
menjelaskan, sejarah Pasar Tegalgubug dimulai sekitar tahun 1914. Saat
itu, warga setempat menggantungkan hidupnya dengan membuat dan menjual
kemben, yakni perlengkapan kebaya kaum perempuan pada masa itu.
Pasalnya, kaum perempuan di Tegalgubug memang mahir dalam menjahit. Para
pembeli kemben itu berasal dari luar wilayah Cirebon . Mereka
berdatangan dengan menggunakan pedati pada malam hari. Karena itulah,
hingga kini, aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug telah dimulai
sejak malam hari sebelum ‘hari pasaran’ tiba.
Seiring berlalunya waktu, aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug pun
terus berjalan. Namun, aktivitas perdagangan itu belum dapat
meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Karenanya, kaum lelaki di
desa tersebut lantas merantau ke Bandung untuk menjadi tukang becak.
Tahun 1960-an, di Bandung mulai menjamur industri tekstil. Seringkali,
pabrik-pabrik tekstil itu membuang sisa-sisa kain yang tidak mereka
gunakan.
‘’Melihat hal itu, para tukang becak yang berasal dari Tegalgubug
memungut sisa-sisa kain tersebut dan membawanya pulang. Mereka yakin
kain-kain itu dapat dimanfaatkan bila diolah lebih lanjut oleh istri
mereka yang memang pandai menjahit,’’ ujar H Maslani.
Keyakinan para tukang becak itu memang tidak keliru. Kain-kain sisa yang
telah dijahit menjadi pakaian jadi itu, sangat laku dijual di Pasar
Tegalgubug. Bahkan, permintaan pun terus meningkat hingga akhirnya
mereka tak lagi hanya menggunakan kain sisa untuk dijahit menjadi
pakaian jadi, melainkan juga membeli kain secara utuh.
Melalui promosi dari mulut ke mulut, keberadaan Pasar Tegalgubug pun
semakin dikenal. Apalagi, lokasinya yang terletak di sisi jalur utama
pantura penghubung Jakarta dan Jateng, menjadikan Pasar Tegalgubug
sangat mudah untuk dijangkau oleh para pembeli yang datang dari berbagai
daerah. Tercatat, ada sekitar 5.000 pedagang yang kini berjualan di
Pasar Tegalgubug.
‘’Barang-barang di Pasar Tegalgubug sangat laku hingga perputaran uang
di pasar ini bisa mencapai kurang lebih Rp 5 miliar untuk setiap hari
pasaran. Dengan demikian, jika dihitung satu bulan, maka perputaran uang
di pasar ini bisa mencapai kurang lebih Rp 40 miliar,’’ tutur H
Maslani, yang memiliki usaha pembuatan perlengkapan pesta pernikahan
dengan nama produk Sanga Sanga Production.
Salah seorang pemilik usaha penjualan bahan dasar pakaian, Hj Sofiyatun,
menuturkan, omset penjualannya untuk setiap hari pasaran rata-rata
mencapai Rp 200 juta. Bahkan jika permintaan dari pembeli sedang ramai,
omset penjualannya bisa mencapai Rp 500 juta untuk setiap hari pasaran.
‘’Alhamdulillah. Padahal saya memulai usaha ini dengan hanya bermodalkan awal Rp 300 ribu,’’ kata Hj Sofiyatun.
Menurut H Maslani, aktivitas perdagangan bahan sandang tersebut telah
mampu mengubah tingkat perekonomian warga Desa Tegalgubug dan Desa
Tegalgubug menjadi jauh lebih baik. Meski desa mereka bernama ‘gubug’
yang berarti rumah sederhana yang berdinding pagar dan beratap jerami,
namun kini rumah-rumah warga di desa itu telah berubah menjadi rumah
permanen berdinding dan berlantai marmer. Anak-anak mereka pun tidak
sedikit yang dapat mengenyam pendidikan hingga tingkat strata satu dan
strata dua di berbagai perguruan tinggi. Dan sebagai rasa syukur
kehadirat Sang Mahakuasa yang telah melapangkan rezeki, mayoritas warga
di dua desa itu rata-rata telah menunaikan ibadah haji, bahkan hingga
beberapa kali.
‘’ Namun memang, setiap usaha pasti ada pasang surutnya,’’ tutur H Maslani.
Maslani menjelaskan, penurunan aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug
pernah terjadi saat harga BBM naik sangat tinggi pada tahun 2001-an,
yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Selain itu, faktor alam
berupa gelombang laut yang tinggi juga turut berpengaruh karena pembeli
di Pasar Tegalgubug banyak juga yang berasal dari luar pulau Jawa.
bersambung